Mengevaluasi Pilkada Langsung: Mencegah Korupsi dalam Administrasi Pemerintahan

interaks | 24 December 2024, 00:53 am | 17 views

 

INTERAKSIMEDIAGLOBAL.COM || Oleh Bambang Soesatyo (Anggota DPR RI, Ketua MPR RI ke-15, Ketua DPR RI ke-20, Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur, Trisakti, Jayabaya, dan Universitas Pertahanan)

 

Pilkada langsung, sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, awalnya diharapkan menjadi tonggak baru dalam demokrasi Indonesia. Sistem ini lahir dari semangat reformasi, didukung oleh Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 dan diatur lebih lanjut melalui UU No. 32 Tahun 2004 serta UU No. 8 Tahun 2015. Namun, harapan akan tata kelola pemerintahan yang bersih dan demokratis mulai terkikis oleh realitas politik uang dan administrasi pemerintahan yang koruptif.

 

Harga Tinggi Demokrasi yang Membebani

 

Pilkada langsung dikenal memakan biaya besar, baik bagi negara maupun para kontestan. Biaya kampanye yang mencapai ratusan miliar rupiah untuk pemilihan gubernur atau puluhan miliar untuk pemilihan bupati sering kali menjadi “investasi politik”. Sayangnya, investasi ini sering kali dibayar dengan praktik koruptif ketika kandidat terpilih. Tujuan mereka bukan hanya untuk balik modal, tetapi juga meraih keuntungan politik untuk pencalonan berikutnya.

 

Pendekatan yang digunakan oleh kandidat untuk meraih suara kerap kali tidak lepas dari politik uang. Dari serangan fajar hingga memanfaatkan tokoh masyarakat lokal sebagai penggerak suara, praktik ini memperlihatkan bagaimana nilai-nilai demokrasi dirusak oleh ambisi kekuasaan.

 

Dampak Buruk terhadap Administrasi Pemerintahan

 

Korupsi dalam pemerintahan daerah bukanlah cerita baru. Pada 2013, data Kementerian Dalam Negeri mencatat sekitar 70% kepala daerah terjerat kasus korupsi. Hingga 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani 618 kasus korupsi di pemerintahan kabupaten/kota, dengan 167 kepala daerah menjadi tersangka. Fakta ini menunjukkan bagaimana Pilkada langsung telah melahirkan pejabat yang lebih fokus pada keuntungan pribadi daripada melayani masyarakat.

 

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga membeberkan data mengejutkan tentang peserta Pilkada 2024. Sebanyak 138 kandidat diduga terlibat kasus korupsi, termasuk di antaranya gubernur, wali kota, dan bupati. Fenomena ini mempertegas minimnya integritas di tengah proses demokrasi.

 

Dampak Langsung bagi Masyarakat

 

Kinerja pemerintah daerah yang lahir dari Pilkada langsung sering kali tidak mencerminkan kepentingan rakyat. Masalah-masalah mendasar seperti kemiskinan, stunting, dan putus sekolah dibiarkan tanpa perhatian serius. Dalam tiga tahun terakhir, pemerintah pusat telah mentransfer dana hingga Rp 2.300 triliun ke daerah, namun angka kemiskinan tetap tinggi, dan layanan publik tidak menunjukkan perbaikan signifikan.

 

Pentingnya Koreksi Pilkada Langsung

 

Dengan semua fakta ini, pertanyaan penting muncul: apakah sistem Pilkada langsung dengan segala kelemahan dan korupsinya masih relevan dipertahankan? Koreksi terhadap Pilkada langsung bukanlah langkah mundur, melainkan upaya menyelamatkan demokrasi dari ancaman korupsi dan pembodohan masyarakat.

 

Masyarakat harus berani mendorong perubahan demi masa depan yang lebih baik. Pilkada yang koruptif bukan hanya merugikan generasi saat ini, tetapi juga mengancam keberlangsungan demokrasi yang sejati. Koreksi ini adalah langkah penting untuk memastikan pemerintahan daerah yang bersih, profesional, dan benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat.

 

Masa depan demokrasi ada di tangan kita. Koreksi adalah langkah maju untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

 

Red – As corp

Berita Terkait