Jeritan Seorang Ayah, Tangis Sebuah Bangsa

interaks | 9 June 2025, 19:26 pm | 21 views

 

INTERAKSIMEDIAGLOBAL.COM || Lamongan, Jawa Timur — Siang itu, Jumat 23 Mei 2025, matahari di Kecamatan Babat terasa terik menyengat. Suasana Desa Moropelang mendadak riuh. Seorang pria tertangkap basah mencoba mencuri burung murai batu milik warga. Ia nyaris dihakimi massa. Warga yang marah merasa tak bisa memberi ampun.

 

Namun beberapa saat kemudian, iring-iringan aparat kepolisian datang membelah kerumunan. Pria itu, dengan wajah penuh ketakutan dan tubuh bergetar, diamankan. Ia diketahui berinisial S (35), seorang buruh serabutan asal Desa Slaharwotan, Kecamatan Ngimbang.

 

Aksi pencurian yang terhenti itu seolah menjadi cerita biasa dalam catatan kriminal harian. Tapi siapa sangka, di balik wajah pasrah S, tersimpan kepedihan hidup yang tak banyak orang tahu. S bukan sekadar pencuri. Ia adalah suami dari seorang perempuan hamil delapan bulan, yang tengah menunggu waktu melahirkan—tanpa tabungan, tanpa air bersih, bahkan tanpa kepastian bisa melahirkan dengan selamat.

 

Di Rumah yang Tak Punya Sumur

Akhmad Sriyono, biasa disapa Yoyon, jurnalis Komunitas Jurnalis Jawa Timur. Hati saya tergugah saat mendengar cerita ini. Bukan karena nilai burung murai batu yang gagal dicuri, tapi karena alasan di baliknya.

 

Hari itu, saya memutuskan menyambangi rumah S dan istrinya, Tika. Di pinggiran desa, rumah mereka berdiri dengan sederhana, bahkan bisa dibilang nyaris tanpa fasilitas layak. Tidak ada sumur. Tidak ada kamar mandi. Untuk mandi dan mencuci, mereka menumpang di sungai kecil di dekat rumah. Saat saya tiba, Tika sedang duduk di atas dipan bambu, memegangi perutnya yang membuncit.

 

“Saya takut, Mas,” katanya lirih. “Sebentar lagi saya melahirkan. Tapi uang untuk bersalin belum ada. Di rumah ini juga nggak ada air. Kalau nanti sudah lahiran, apa saya masih harus menimba air ke sungai?”

 

Saya terdiam. Kata-katanya menyayat hati. Tak ada nada marah, tak ada tangisan meledak-ledak. Hanya suara lelah dari seorang ibu yang ingin menyambut anaknya dengan layak.

 

Cinta yang Membuat Nekat

S mengaku kepada saya bahwa ia sudah mencoba segala cara. Menjual barang bekas, bekerja serabutan, bahkan pernah menjadi tukang bangunan jauh dari rumah. Tapi semua itu tak cukup menutupi biaya hidup, apalagi untuk biaya persalinan. Dalam putus asa, ia memilih jalan salah: mencuri.

 

“Saya tahu itu salah, Mas. Tapi saya panik. Istri saya sudah lemah. Saya takut dia melahirkan tanpa pertolongan. Kalau saya gagal, saya siap dihukum. Tapi saya hanya ingin anak saya lahir,” katanya saat kami berbicara lewat perantara.

 

Di sinilah sisi kemanusiaan muncul. Tidak semua yang melanggar hukum adalah penjahat yang kehilangan hati nurani. Ada yang hanya dikalahkan oleh keadaan. Dan S, dengan segala keterbatasannya, menjadi cermin betapa kerasnya hidup bisa menghimpit seseorang hingga titik nadir.

 

Ketika Empati Mengalahkan Penghakiman

Kisah ini menyebar. Dari media lokal ke media sosial. Respon masyarakat pun beragam—dari yang mencibir, hingga yang mengulurkan tangan. Tapi yang paling menggugah, datangnya dari Anis Kartika Efendi, istri Bupati Lamongan.

 

Minggu, 8 Juni 2025, beliau datang langsung ke rumah Tika. Tidak membawa rombongan besar, tidak diselimuti formalitas. Hanya niat tulus untuk menyampaikan: kamu tidak sendiri.

 

> “Saya hadir bukan untuk membenarkan perbuatan suaminya. Tapi saya percaya, manusia tidak bisa dinilai hanya dari satu kesalahan. Saya di sini untuk mendampingi sesama perempuan yang sedang berjuang,” ucapnya.

 

Kehadiran itu menjadi oase di tengah kekeringan empati. Perhatian itu menjadi awal dari gerakan bersama untuk menyalakan kembali nurani sosial.

 

Seruan dari Hati untuk Negeri

Divisi Advokasi KJJT juga tidak tinggal diam. Feris, salah satu aktivisnya, lantang menyuarakan bahwa ini adalah tugas bersama. Negara harus hadir. Pemerintah daerah harus peka.

 

> “Pelanggarannya sudah ditangani hukum. Sekarang waktunya kita bertanya: di mana negara saat warganya tidak punya air untuk mandi? Saat istri rakyat melahirkan tanpa bantuan?” katanya dalam sebuah forum.

 

Ia juga mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mengedepankan nilai “memanusiakan manusia.” Karena ketika rakyat dan pemerintah bersatu, lahirlah kekuatan yang sesungguhnya.

 

Bukan Sekadar Kasus, Ini Cermin Sosial

Kisah ini mungkin akan berlalu. Mungkin akan tergantikan oleh berita besar lainnya. Tapi luka dan harapan yang tertinggal tak bisa hilang begitu saja. Di balik pencurian seekor burung, tersembunyi cerita tentang cinta, kemiskinan, keputusasaan, dan harapan. Tentang ayah yang rela dihukum demi anaknya yang akan lahir. Tentang ibu yang tetap tabah meski hidup tanpa air.

 

Semoga ini menjadi titik balik. Bukan hanya bagi S dan Tika, tapi bagi kita semua. Agar kita tak lagi cepat menghakimi sebelum memahami. Agar kita belajar kembali menjadi manusia yang utuh—yang peduli, yang berbagi, dan yang hadir di saat paling dibutuhkan.

 

> Karena terkadang, jeritan seorang ayah… adalah tangis seluruh bangsa.

Catatan redaksi: Bagi pembaca yang ingin membantu keluarga S dan Tika, silakan menghubungi Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) atau kanal resmi Pemkab Lamongan. Setiap bantuan akan dicatat dan disalurkan secara terbuka dan transparan.

 

Bambang Tri Kasmara

Berita Terkait